Banyak Sekolah Menolak Siswa Berkebutuhan Khusus

Annisa Elok Budiyani saat memberi materi Pelatihan Pendidikan Inklusi di Semarang beberapa waktu lalu (foto dindin)

Berdasarkan data UNICEF 67% anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum mendapatkan akses pendidikan yang semestinya. Beberapa faktor penyebabnya adalah kemiskinan, pemerataan, dan kesetaraan gender. Apa langkah UNICEF untuk memperluas akses tersebut?

Saya sempat wewancarai Adolescent Development Officer UNICEF INDONESIA, Annisa Elok Budiyani di sela-sela kesibukannya mendampingi kegiatan Training of Trainers (TOT) Pendidikan Inklusi kerja sama LP Ma’arif NU Jateng dan UNICEF di Salatiga beberapa waktu lalu. Mengapa hal itu bisa terjadi? Simak ulasannya berikut ini.

Bisa dijelaskan Mba Annisa, framework UNICEF di Indonesia apa sih?

Unicef itu lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas mengadvokasi pemenuhan hak-hak anak di dunia. Kami setiap lima tahun menandatangani MoU dengan pemerintah Indoensia. Biasaya dikoordinasikan oleh Bapenas; istilahnya county program.

Nah untuk country program yang sekarang kami bekerja sama dengan sepuluh kementrian dan lembaga pemerintah. Pembagiannya kami ada Cluster Perlindungan Anak, Cluster Pengembangan Remaja, Kluster Kesehatan, Kluster Kebijakan Sosial, Kluster Komunikasi, Kluster Operasional termasuk didalamnya divisi pengumpulan dana atau fundraising. Jadi kerja kami lintas sektoral. Kami juga memiliki kantor perwakilan di daerah-daerah, seperti di Banda Aceh, Jakarta,Surabaya, Makassar, Ambon, Jayapura, dan Manokwari.

Kalau kluster pendidikan apa saja cakupannya?

Indonesia sebenarnya dikategorikan sebagai negara middle income country. Artinya pemerintah dipandang sudah memiliki sumber daya untuk mengelola pembangunan. Nah, dalam konteks seperti di Indonesia, biasanya Unicef berperan sebagai technical support . Jadi tidal lagi memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, tetapi melalui program-program pemerintah, karena pemerintah sendiri sudah punya program yang cukup kuat.

Kalau untuk pendidikan, area kami di antaranya adalah pendidikan usia dini, kami juga konsen pada anak-anak di luar sekolah. Lalu kami juga punya program quality improvement. Jadi kami punya program di Papua untuk literasi kelas awal, ada juga program pengembangan kecakapan hidup.Untuk yang program anak luar sekolah kita kan mengacu pada data-data kenapa anak itu putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah.

Faktor terbesar kenapa anak putus sekolah yakni masalah sosial ekonomi. Sebenarnya ini sudah dihandel pemerintah melalui program Kartu Indonesia Pintar atau dana BOS yang diberikan ke sekolah. Faktor kedua yaitu karena anak menikah di usia muda. Nah untuk yang ini kami juga punya program yang memastikan bahwa anak-anak tersebut mendapatkan haknya di bidang pendidikan. Faktor yang ketiga karena disabilitas.

Untuk yang putus sekolah karena disabilitas, jumlahnya seberapa besar ini?

Menurut data kami peroleh dari Sensus Ekonomi secara nasional-waulaupun masih data model ya-masih ada 67% anak penyandang disabilitas yang belum terlayani atau belum memperoleh akses pendidikan yang layak. Makanya kemudian kami mengembangkan strategi pendidikan inklusi. Kami juga masih melihat apa sih yang menghalangi anak disabilitas tidak bisa sekolah?

Kami sedang terus berusaha mengumpulkan data. Sementara ini data yang kami dapat, itu karena permintaan orang tua. Jadi kesadaran akses pendidikan disabilitas masih rendah, belum optimal. Misalnya kalau ada orang tua punya anak memiliki keterbatasan penglihatan, ya sudahlah jadi tukang pijat saja.

Sebenarnya keterbatasan fisik seseorang itu bukan sebuah kemalangan. Tetapi lingkungan sosiallah yang membuatnya demikian, karena adanya stigma dari masyarakat. Jadi anak-anak yang memiliki kekurangan fisik tertentu biasanya memiliki kelebihan yang lain. Anak-anak yang tuna sosial biasanya lebih jenius. Sebenarnya seperti kita yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi jangan dipandang sebagai kemalangan. Nah paradigma itu yang akan kita ubah.

Kalau dari sisi pelayanan, ya ini sekolah masih mencari bentuk bagaimana memberikan layanan pendidikan inklusif. Banyak guru yang tidak menyadari bahwa di lingkungannya ada penyandang disabilitas. Banyak juga sekolah yang menolak jika ada anak disabilitas yang mau masuk.
Sebenarnya pemerintah daerah melalui peraturan daerah sudah mengatur kewajiban setiap satuan pendidikan untuk menerima siswa penyandang disabilitas, tetapi sampai sekarang belum banyak yang merealisasikan. Apa penyebabnya?

Sebenarnya itu masalah kapasitas. Kepala sekolah banyak belum mampu memberikan edukasi kepada orang tua tentang hal tersebut. Padahal dengan adanya anak disabilitas di sekolah itu positif. Pemerintah daerah juga banyak yang belum aware terhadap pendidikan Inklusi. Kalau pemerintah daerah yang sudah aware tentu akan mengalokasikan anggarannya. Yang belum aware karena mereka tidak tahu dampaknya bagaimana (kalau program ini tidak diprioritaskan). Jadi hanya beberapa provinsi dan kabupaten saja yang menjalankannya. Belum semua melihat itu sebagai prioritas. Memang kenyataanya praktikal. Karena kepala daerah itu kan harus mempertahankan popularitas politik, jadi hanya mengangkat isu-isu yang menguntungkan. Kalau pendidikan inklusi mungkin kurang seksilah isunya,

Apa yang harus dilakukan?

Tantangan kita adalah mengumpulkan data. Karena itu penting sekali. Berapa jumlah penyandang disabilitas, berapa yang tidak sekolah, data lost investemennya juga. Data ini harus diperlihatkan ke pemangku kebijakan. Anak-anak ini bukan anak yang ‘terbuang’, mereka juga memiliki potensi. Harus diselamatkan.

Berikutnya peningkatan kapasitas guru. Guru adalah garda depannya. Bagamaina mengajarnya, jangan sampai anak-anak penyandang disabilitas ini kalaupun diterima kemudian mendapatkan perlakuan diskriminatif karena gurunya tidak tahu harus berbuat apa. Makanya kita bekerja sama dengan LP Ma’arif NU Jawa Tengah untuk meningkatkan kapasitas madrasah atau sekolah.

Skup kerja sama UNICEF?

Unicef itu fungsinya sebagai konjuren, yang menghubungkan berbagai sumberdaya. Kalau skala internasional kami bekerja sama dengan Qatar Foundation dan FC Barcelona yang juga konsen terhadap isu ini. Skala nasional kita kerja sama dengan Kementrian Pendidikan. Kami juga melebarkan diskusi tentan pendidikan inklusi ini dengan Bapenas, Kementrian Sosial, Kementrian Agama.

Wilayah mana saja yang disasar?

Karena Unicef memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya dan anggaran, biasanya kami mengolah itu dalam bentuk modeling, jadi contoh dulu. Begitu sudah ada lesson learnya baru kami ajukan ke pemerintah untuk mereplikasi ke kabupaten/kota atau pemerintah provinsi lainnya. Untuk program ini kita punya pilot di empat kabupaten di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan untuk pemodelan tata kelolanya. Di Jawa Tengah juga ada. Di pemerintah pusat ada Pokja Inklusi, di provinsi kabupaten juga ada. Mereka akan berkoordinasi siapa yang mendanai pelatihan, penyusunan kerangka kebijakan, sarana dan alat bantunya. Kemudian baru diimpelentasikan ke madrasah atau sekolah.

Ada target tertentu untuk mengurangi angka 67% tadi?

Kalau itu mestinya target nasional dan bergantung kebijakan dan daerah juga ya. Kalau target jangka pendek kami selama tiga tahun ini adalah pertama, kami ingin ada kerangkan koordinasi, grand desain yang didalamnya mencakup dana dan sumber daya manusia, lalu ada program termasuk didalamnya peningkatan kapasitas stakeholder dan pembuat kebijakan, ada monitoring evaluasi didalamnya, sumberdayanya juga. Itu program jangkan pendek kami di daerah-daerah pilot project sudah ada itu semua. Di setiap wilayah juga kami targetkan ada master trainer, champion-champion, yang menguasai konten teknis yang siap ditempatkan di manapun. Yang ketiga ada model-model sukses. Misalnya model-model kerja sama regular, pendanaan lintas sektor, modul berbasis kecakapan hidup, olah raga, life skill, jadi good practice . Ini akan kita dokumentasikan dan menjadi referensi nasional.

Harapan Unicef tentang pendidikan inklusi di Indonesia?

Pendidikan inklusi itu tidak boleh tidak. Harus! Karena fitrah semua makhluk hidup berbeda itu kan satu sama lain berbeda. Tidak ada manusia yang sama, semua berbeda. Masing-masing manusia memiliki kelebihan dan kekurangan.

Maka pada suatu saat walaupun tidak sekarang kita pasti akan menuju kesana. Kalau tidak, maka pendidikan kita tidak akan membuahkan hasil. Harapan ke depan ya sitem pendidikan kita akan lebih inklusi pada semua anak. Setiap anak memiliki potensi, kelebihan, dan kekuarangan masing-masing. Pemerintah wajib menjamin ketersedian akses pendidikan yang layak bagi mereka.(din).

Bagikan ke :