Ini Potret Pendidikan di Jawa Tengah

SOLO, solotrust.com- Tujuh puluh dua tahun sudah Indonesia merdeka. Walaupun terbilang sudah cukup lama, namun rasanya salah satu cita-cita luhur kemerdekaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa seolah masih jauh dari kata ideal.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2017/2018, sebanyak 2.238 siswa di Provinsi Jawa Tengah putus sekolah pada jenjang sekolah dasar (SD) dan tak melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Jika digabung dengan yang tidak tamat sampai SMP, maka ada lebih dari 6 ribu anak yang tak mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun.

Jawa Tengah termasuk salah satu provinsi yang memiliki jumlah siswa putus sekolah terbanyak di Indonesia, setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Padahal, konstitusi telah menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 28C.

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,” demikian bunyi pasal tersebut.

Melihat data tersebut, tampaknya perjuangan pemerintah dalam mewujudkan amanat konstitusi di bidang pendidikan masih cukup panjang. Bahkan, menurut neraca pendidikan daerah yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2016, persentase anggaran urusan pendidikan dalam APBD (di luar transfer daerah) masih ada yang belum mencapai 20 persen di beberapa wilayah.

Hal itu sempat disinggung oleh Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Hendarman saat kunjungan ke Kota Surakarta beberapa waktu lalu. “Anggaran itu berbicara tentang komitmen masing-masing daerah dalam meningkatkan kesejahteraan,” kata dia.

Di Provinsi Jawa Tengah sendiri, Kabupaten yang menganggarkan urusan pendidikan di atas 20 persen yakni Klaten (27 persen), Wonogiri (23,9 persen), Magelang (22,6 persen), Banyumas ( 22,4 persen), Surakarta (21,5 persen), dan Karanganyar (20,1 persen).

Terkait banyaknya anak yang putus sekolah ini juga tak terlepas dari semakin mahalnya biaya pendidikan. Didik Kartika, Wakil Direktor Solo Mengajar sekaligus Pemerhati Anak dan Pendidikan, juga menyadari hal tersebut.

“Soal biaya pendidikan mahal memang masih menjadi problem sosial. Tetapi pemerintah terus mengembangkan pendidikan murah bahkan gratis,” kata dia.

Didik lantas menyarankan, apabila ada anak yang putus sekolah, bisa dibantu untuk menemukan kekuatan potensi mereka sesuai karakter pribadi. “Dengan menemukan kekuatan potensi, seorang anak lebih percaya diri dengan harapan masa depannya. Lembaga swasta, pelatihan, pemerintah saya kira bisa bersinergi membantu anak putus sekolah,” ungkapnya.

Untuk menakar keberhasilan pendidikan di Indonesia, sebenarnya bukanlah terletak pada banyaknya siswa yang berjaya dalam olimpiade internasional, melainkan bagaimana anak-anak pedalaman dan pedesaan juga memiliki kesempatan yang sama untuk meraih keunggulan nyata dalam proses pendidikan. (mia)

(wd)

Sumber : https://www.solotrust.com/read/6115/-Ini-Potret-Pendidikan-di-Jawa-Tengah

Bagikan ke :